Bandara Internasional Kuala Lumpur, 30 Juni 2011. Akhirnya tiba juga kami di negeri jiran. Malaysia, ya Malaysia. Negeri pertama yang membubuhkan stempel pada paspor kami. Pengalaman pertama pula kami menginjakkan kaki di negeri orang dengan syarat harus membawa paspor. It's cool. Keren juga rasanya.
Berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, melewati berbagai gerbang pemeriksaan yang menjemukan hingga pelayanan yang kurang simpatik dan ada kesan membodohi (mungkin persepsi kami saja waktu itu) dari beberapa crew maskapai penerbangan milik negeri tetangga itu.
"Akh.., belum juga tiba di luar negeri, kita sudah diperlakukan seperti ini. Bagaimana kalau sudah di luar ya? Belum berangkat saja sudah mendapatkan perlakuan seperti ini. Oleh warga negara sendiri lagi." Gerutu Yogi, kawan seperjalanan ketika mendengar bahwa kami harus memiliki tiket pulang-pergi jika menggunakan paspor baru. Informasi yang menurutnya sangat membodohi. Ya, kesan itu kami tangkap setelah menunjukkan visa dari pemerintah Thailand sebagai penerima beasiswa dan akan menetap selama dua bulan di negeri Gajah putih itu. Tetapi lampu hijau belum kami dapatkan.
Mereka beralasan bahwa, visa tersebut adalah dari negeri Thailand, sedangkan tiket kami menuju Malaysia. Sehingga dari sudut pandang mereka, kami tidak boleh bertolak dari Indonesia menuju Malaysia. Menyaksikan perdebatan yang alot antara Yogi dan crew tersebut, tabiat 'mahasiswa Makassar' dalam diri kami bergemuruh, gelora darah pemakan kuda mulai memunculkan gelembung-
gelembung pemanasan. Kami ajak mereka berdebat, bersitegang sambil memperlihatkan seluruh dokumen yang mungkin mendukung. Dengan harapan dokumen tersebut dapat membantu.
Akhirnya, mereka melunak. Lalu membiarkan kami menuju gerbang imigrasi. Pegawai imigrasi malah sangat paham dengan situasi dan paspor kami. "Alhamdulillah...", ucap Yogi sambil menghela nafas lega. "Nyaris saja kita beli tiket yang belum kita butuhkan, lagian uangnya dari mana? Kita kan baru mau menuju Thailand, uangnya kan dari sana," sambung Yogi setelah kami berjalan menuju pesawat.
"Siapa juga yang mau lama di Malaysia?" Celoteh Yogi setelah akan berjalan menuju tempat duduknya di pesawat. Karena kebetulan kami dapat kursi yang berjauhan. Kami hanya menimpali dengan nada sedikit meledek. "Dikira ABK yang akan melaut di sana kali, padahal 'jenengan' sudah necis rapih plus rambut baru." Yogi hanya tersenyum kecut.
Dalam benak kami di paruh awal perjalanan mencoba menebak beberapa kemungkinan, mengapa kami lalu mendapat perlakuan seperti itu. Salah satunya, boleh jadi karena kami dianggap akan jadi TKI di negeri jiran. Jika dugaan itu benar, maka sungguh berat pengalaman yang akan dan telah dilalui para TKI kita. Bahkan boleh jadi jauh lebih buruk. Padahal mereka adalah pahlawan bagi keluarga dan devisa bangsa. Mudah-mudahan saja, itu hanya kekhawatiran yang di'trigger' oleh penat dan masygul dalam hati .
Semoga!