Chiang Mai 03 Juli 2011. Bermukin di Thailand, khususnya di bagian utara seperti Chiang Mai bak mmengunyah permen nona-nona (bukan iklan ya, makanya namanya dibalik). Ada pengalaman manis, pahit dan asam yang bercampur menjadi satu. Bagi pendatang yang non-muslim, kami menduga mereka banyak mengecap rasa manisnya. Cuaca yang sangat bersahabat, penduduk yang ramah dan pilihan makanan yang melimpah dengan cita rasa khas thailand (asin dan pedas) menjadi alasan di balik asumsi kami.
Soal makanan ini pula yang bagi kami yang ber-KTP muslim, menjadi sesuatu yang agak 'tricky'. Di tengah upaya kami untuk taat, kami lalu berusaha keras agar terhindar dari mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung unsur babi. Entahlah, mengapa kami begitu ketat untuk urusan konsumsi daging babi, tetapi tidak demikian halnya untuk kehalalan yang lain. Atau mungkin hanya kami yang begitu. Sangat mungkin. Anda lebih mengetahuinya tentu saja.
Kami teringat pertama kali memesan nasi dan sayur saja untuk makan siang kami di hari pertama tiba. Pesanan yang didorong oleh kekhawatiran yang kuat akan adanya unsur daging atau lemak babi yang ada di dalam menu yang lain. Jadilah, santap siang pertama kami sangat 'hambar' dan penuh keraguan akan kontaminasi tersebut. Hanya bermodalkan asma Allah, kemudian kami berharap menu tersebut betul-betul 'bersih'.
Beruntunglah pada hari berikutnya, kami mendapati seorang pelayan muslim asal malaysia. Sangat melegakan rasanya bertemu dengannya. Setidaknya untuk urusan makanan banyak kekhawatiran bisa kami hilangkan. Karena untuk mendapatkan makanan yang halalan toyyiban telah ada pemandunya. Asyik!!! Jadilah setiap kami makan, siang maupun malam, kami memesan di tempat yang sama, karena hanya itu satu-satunya warung "halal" yang ada di dalam area kampus kami bermukim.
Di tempat itu pula, beberapa mahasiswa muslim yang sedang belajar di kampus tersebut selalu memesan menu makanan mereka setiap hari. Karena sering berpapasan atau berurutan dalam memesan makanan, maka kami berkenalan dengan beberapa di antara mereka. Dan, mengajak kami untuk ikut dalam kegiatan muslim student club university. Senang sekali perasaan kami mendapati teman-teman baru yang seakidah. Meski jumlahnya tidak seberapa hanya dengan hitungan jari, karenanya mereka menjadi komunitas minoritas. Tetapi berbaur dengan mereka, membuat kami merasakan kenyamanan, keamanan dan tidak tersesat di belantara yang tak bertepi.
Sunday, 21 November 2021
We are what we eat
Sunday, 14 November 2021
No Internet No Life
Chiang Mai, 03 Juli 2011. Tinggal di dormitori yang nyaman, bersih dan suasana yang asri sungguh sangat menyenangkan. Setiap pagi, saat teman-teman peserta 'short course' masih terlelap, seorang petugas kebersihan dormitori, dengan telaten dan penuh kesungguhan membersihan tempat kami bermukim. Karena kebersihannya dijaga setiap hari. Maka, tidak pernah ada penghuni yang mengeluhkan persoalan sampah ataupun kebersihan dormitori, juga aroma yang tak sedap. Sekali lagi. Sungguh sangat nyaman menempatinya. Kami sangat menikmati.
Kondisi yang jarang kami temui di negara (kampung) halaman, terkecuali mungkin di hotel, entahlah. Terus kebersihan beberapa kampus di Indonesia? Anda yang punya referensi yang mungkin lebih lengkap. Kami hanya mencoba mengenang bagaimana kampus kami saat S1 di Tamalanrea (iya betul, kampus merah Unhas). Sebagai kampus terbesar di Indonesia bagian tengah dan timur.
Pasti dong kami merasa bangga dengan menjadi bagian (mahasiswa) di dalamnya. Tetapi jangan tanya kalau soal kebersihannya, kami akan sangat jauh dari merasa terkesan apalagi bangga. Kami, dan hampir semua mahasiswa yang sejaman sepertinya memiliki memori yang serupa jika terkait dengan kebersihan kampus. Dan, kalau anda salah satu dari generasi tersebut, tentunya tebakan anda tidak akan jauh meleset. Apakah itu? Yup! Betul sekali. Bau tidak sedap yang bersumber dari hampir semua toilet yang ada. Aroma yang bisa tercium hingga jarak yang cukup jauh.
Karenanya, pernah suatu waktu dosen kami berkelakar begini; "Kalau ingin mencari toilet di kampus ini, jangan mencarinya dengan mata. Tetapi gunakanlah hidung anda, pasti akan lebih mudah menemukannya". Semoga, kondisi tersebut kini telah banyak berubah.
Meskipun dormitori kami bermukim nyaris sempurna fasilitas dan suasananya, tentunya sebagai manusia biasa (yang banyak tuntutan, hehe) kami merasa ada yang kurang. Dasar manusia! Begitu sering kami dengar celoteh beberapa teman kami. Suatu waktu, salah seorang kawan yang berasal dari Yunan University mengeluhkan tidak adanya layanan jaringan inetrnet gratis bagi kami. Baginya, no internet no life, begitu jawabnya menguatkan alasan keluhannya, saat seorang kawan yang lain dari Syiria iseng bertanya. Fasilitas yang memang tidak diberikan oleh pihak kampus bagi dormitori untuk student lokal. Tapi iya juga ya. Kami kan International student, kenapa mereka menempatkan kami di 'local dormy', entahlah.
Karena keluhan tersebut, maka kami lalu dipindahkan ke dormitori Internatonal student. Kami menempati kamar yang sebelumnya ditempati oleh mahasiswa asal Filipina. Ia 'diungsikan ke ruangan yang lain untuk sementara demi 'memfasilitasi' kami. Ternyata, jumlah mereka (mahasiswa Filipina) yang sangat sedikit membuatnya begitu mudah untuk dipindahkan ke sana ke mari, dibandingkan kami peserta short course. Situasi yang bagi kami tak asing menyaksikan 'penyingkiran' kelompok minoritas untuk memberikan 'kenyamanan' bagi kelompok mayoritas.
Sunday, 7 November 2021
Antara Jakarta dan Chiang Mai
Chiang Mai, 01 Juli 2011. Mendarat di Bandara Internasional Kuala Lumpur, lalu beristirahat beberapa jam (lebih tepatnya transit) kemudian melanjutkan perjalanan menuju Chiang Mai. Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa bagi kami. Meskipun ada bonus lain tentu saja, yakni sangat melelahkan. Namun, penat, pegal dan linu terhapus oleh antusiasme dan semangat membara untuk bertualang.
Dan, yang paling terasa istimewa bagi kami adalah penjemputan spesial di bandara saat tiba di bandara Chiang Mai, bagi sebagian orang yang terbiasa dijemput dibandara mungkin hal tersebut adalah kejadian yang lumrah. Tapi bagi kami terasa sangat spesial karena merupakan pengalaman pertama. Ditambah dengan kendaraan yang bagus, lalu melalui jalan yang bebas hambatan walau bukan jalan tol. Imaji sebagai seorang pejabat terus menggelayut dalam hayalan, apalagi kejadiannya di negeri orang. Seluruh helai rambut seolah berdiri dan kepala rasanya mengembang.
Larut dalam imaji, kami tak ingin membuyarkannya dengan melakukan perbandingan dengan kondisi di negeri sendiri. Anda pasti paham kan? Seperti apa rasanya naik angkot, bis dan apalagi kereta kelas ekonomi. Olehnya, merasakan dijemput secara sangat 'privat' dan terjadi tidak di wilayah ibu pertiwi, membuat kami merasa sangat keren.
Walaupun larut dalam imaji, dan kami terus berusaha menjaga intensitasnya, tetap saja ia buyar. Mungkin sudah bawaan alami, bahwa banyak manusia suka melakukan perbandingan. Dan, kami tidak luput dari karakter itu. Mengingat kembali bagaimana 'perjuangan' kami menuju Jakarta dari Yogya. Menumpang kereta api kelas ekonomi. Tanpa tempat duduk. Semalaman kami melantai dari Stasiun Tugu hingga Stasiun Jatinegara Jakarta Timur.
Kondisi yang kami dan sebagian besar penumpang lainnya harus terima, karena sudah berlangsung lama dan dianggap sudah biasa. Kita yang hidup di tanah surga seperi kata Koes Plus, sudah terbiasa dengan keadaan yang sulit dan semrawut. Sehingga terjepit dan berdesakan di dalam kereta bukanlah merupakan sebuah derita bagi beberapa orang.
Mengembalikan hayalan yang buyar. Kami berandai-andai, mungkin banyak masyarakat akan protes.Jika suatu saat nanti, angkutan massal seperti kereta api memberikan pelayanan yang istimewa. Kereta api, meskipun kelas ekonomi, tetapi hanya mengangkut penumpang sesuai kapasitas tempat duduk yang ada. Lalu dilengkapi dengan fasilitas yang membuat penumpang semakin merasa aman dan nyaman selama berada di dalam kereta. Mereka mungkin akan menuntut untuk dikembalikan ke situasi dimana terjepit dalam gerbong kereta, terinjak oleh pedagang asongan, tersenggol gitar pengamen atau sesekali kehilangan barang bawaan. Sekali lagi mungkin.
Tuesday, 2 November 2021
Ibu Agnes di 28D
Chiang Mai, 30 Juni 2011. Dalam penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta Cengkareng menuju Kuala Lumpur, kami seharusnya menempati kursi pada deretan 28 kursi 28D. Tetapi sebelum kami sampai pada kursi tersebut, telah lebih dahulu seorang wanita paruh baya menempatinya. Ia seharusnya menempati kursi bernomor 28F, entah karena kelelahan atau tidak suka dengan kursi dekat jendela, maka ia pun mampir di atas 28D. Apalagi kursi tersebut masih kosong karena kami menjadi orang terakhir yang naik ke pesawat karena dalam perjalanan menuju bandara terjebak macet dan berdebat panjang dengan petugas konter bagasi seperti yang kami ceritakan pada tulisan "Andai Kami TKI".
Setelah kami tiba di dalam pesawat dan menuju ke kursi yang sesuai dengan yang tertera pada 'boarding pass' kami. Pramugari lalu memberi tahu sang ibu agar bergeser ke kursi yang dekat jendela karena kursi yang ditempatinya adalah untuk kami. Bersusah payah ia mencoba berdiri. Tak tega melihatnya, akhirnya kami tawarkan untuk bertukar posisi jika memang ia merasa tak nyaman dekat dengan jendela. Tawaran kami diterimanya dengan senang hati. Jadilah momen itu menjadi awal keakraban kami dengan ibu paruh baya tersebut yang lalu memperkenalkan namanya; Agnes Chan. Ia baru saja dari Australia menjenguk anaknya yang melanjutkan pendidikan tinggi di negeri Kanguru, lalu mampir ke Indonesia sebelum kembali ke Malaysia.
Ibu Agnes banyak bercerita dan bertanya. Walau dengan kemampuan bahasa Inggris yang pas-pasan dan masih sering 'belepotan' kalau ber'cas-cis-cus' namun kami tetap antusias meladeninya ("Sambil menyelam minum air," benak kami). Banyak hal yang membuat ibu Agnes begitu kagum dengan Indonesia, itu mengapa ia harus menyempatkan diri singgah saat pulang dari Australia.
Keindahan alam,keramahan penduduk hingga eksotisnya beberapa budaya nusantara melengkapi paparannya kepada kami. Saat tiba di pulau Bali, ia begitu terpesona dengan keindahan pulau Dewata, ditambah dengan keramahan penduduknya terhadap wisatawan yang berkunjung. Ia juga sangat takjub dengan batik di Jogja dan pekalongan, yang menurutnya dihasilkan oleh tangan-tangan yang terampil.
Tetapi, tentunya tak hanya hal-hal positif yang mengagumkan yang ditemui ibu Agnes selama berada di Indonesia. Terdapat beberapa 'situasi' yang kurang mengenakkan baginya, termasuk salah satunya mengapa ia begitu merasa kelelahan saat menajalani proses boarding ke dalam pesawat. Namun, karena kami hanya akan berbagi hal-hal yang positif saja, maka yang negatif-negatif tersebut kami 'skip'-maaf ya!. Semoga pada momen yang lain, hal itu dapat kami bagi untuk tujuan yang baik. Hope so!
Dari perbincangan kami yang cukup panjang,sejak 'take-off' dari cengkareng hingga jelang 'landing' di Kuala Lumpur, ibu Agnes berpesan satu hal kepada kami, pesan yang diulanginya hingga tiga kali. "Ingat, meskipun kulit orang lain lebih putih dari kamu, meskipun bahasa inggrisnya lebih kental dan lebih fasih dari kamu, tapi, belum tentu ia lebih baik," tegasnya. Sebuah nasehat yang sangat berharga bagi kami.
Petuah tersebut terus kami renungkan saat menunggu penerbangan menuju Chiang-Mai di bandara Kuala Lumpur. Ada gelitik lucu, jika mengingat seringkali kami--dan mungkin kita--merasa inferior jika berhadapan dengan orang-orang yang seperti ibu Agnes katakan. Ada kekaguman yang berlebihan jika yang berdiri atau duduk di hadapan kita adalah seorang yang tinggi, putih dan rambutnya pirang.
Sunday, 24 October 2021
Andai Kami TKI
Bandara Internasional Kuala Lumpur, 30 Juni 2011. Akhirnya tiba juga kami di negeri jiran. Malaysia, ya Malaysia. Negeri pertama yang membubuhkan stempel pada paspor kami. Pengalaman pertama pula kami menginjakkan kaki di negeri orang dengan syarat harus membawa paspor. It's cool. Keren juga rasanya.
Berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, melewati berbagai gerbang pemeriksaan yang menjemukan hingga pelayanan yang kurang simpatik dan ada kesan membodohi (mungkin persepsi kami saja waktu itu) dari beberapa crew maskapai penerbangan milik negeri tetangga itu.
"Akh.., belum juga tiba di luar negeri, kita sudah diperlakukan seperti ini. Bagaimana kalau sudah di luar ya? Belum berangkat saja sudah mendapatkan perlakuan seperti ini. Oleh warga negara sendiri lagi." Gerutu Yogi, kawan seperjalanan ketika mendengar bahwa kami harus memiliki tiket pulang-pergi jika menggunakan paspor baru. Informasi yang menurutnya sangat membodohi. Ya, kesan itu kami tangkap setelah menunjukkan visa dari pemerintah Thailand sebagai penerima beasiswa dan akan menetap selama dua bulan di negeri Gajah putih itu. Tetapi lampu hijau belum kami dapatkan.
Mereka beralasan bahwa, visa tersebut adalah dari negeri Thailand, sedangkan tiket kami menuju Malaysia. Sehingga dari sudut pandang mereka, kami tidak boleh bertolak dari Indonesia menuju Malaysia. Menyaksikan perdebatan yang alot antara Yogi dan crew tersebut, tabiat 'mahasiswa Makassar' dalam diri kami bergemuruh, gelora darah pemakan kuda mulai memunculkan gelembung-
gelembung pemanasan. Kami ajak mereka berdebat, bersitegang sambil memperlihatkan seluruh dokumen yang mungkin mendukung. Dengan harapan dokumen tersebut dapat membantu.
Akhirnya, mereka melunak. Lalu membiarkan kami menuju gerbang imigrasi. Pegawai imigrasi malah sangat paham dengan situasi dan paspor kami. "Alhamdulillah...", ucap Yogi sambil menghela nafas lega. "Nyaris saja kita beli tiket yang belum kita butuhkan, lagian uangnya dari mana? Kita kan baru mau menuju Thailand, uangnya kan dari sana," sambung Yogi setelah kami berjalan menuju pesawat.
"Siapa juga yang mau lama di Malaysia?" Celoteh Yogi setelah akan berjalan menuju tempat duduknya di pesawat. Karena kebetulan kami dapat kursi yang berjauhan. Kami hanya menimpali dengan nada sedikit meledek. "Dikira ABK yang akan melaut di sana kali, padahal 'jenengan' sudah necis rapih plus rambut baru." Yogi hanya tersenyum kecut.
Dalam benak kami di paruh awal perjalanan mencoba menebak beberapa kemungkinan, mengapa kami lalu mendapat perlakuan seperti itu. Salah satunya, boleh jadi karena kami dianggap akan jadi TKI di negeri jiran. Jika dugaan itu benar, maka sungguh berat pengalaman yang akan dan telah dilalui para TKI kita. Bahkan boleh jadi jauh lebih buruk. Padahal mereka adalah pahlawan bagi keluarga dan devisa bangsa. Mudah-mudahan saja, itu hanya kekhawatiran yang di'trigger' oleh penat dan masygul dalam hati .
Semoga!