Chiang Mai, 30 Juni 2011. Dalam penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta Cengkareng menuju Kuala Lumpur, kami seharusnya menempati kursi pada deretan 28 kursi 28D. Tetapi sebelum kami sampai pada kursi tersebut, telah lebih dahulu seorang wanita paruh baya menempatinya. Ia seharusnya menempati kursi bernomor 28F, entah karena kelelahan atau tidak suka dengan kursi dekat jendela, maka ia pun mampir di atas 28D. Apalagi kursi tersebut masih kosong karena kami menjadi orang terakhir yang naik ke pesawat karena dalam perjalanan menuju bandara terjebak macet dan berdebat panjang dengan petugas konter bagasi seperti yang kami ceritakan pada tulisan "Andai Kami TKI".
Setelah kami tiba di dalam pesawat dan menuju ke kursi yang sesuai dengan yang tertera pada 'boarding pass' kami. Pramugari lalu memberi tahu sang ibu agar bergeser ke kursi yang dekat jendela karena kursi yang ditempatinya adalah untuk kami. Bersusah payah ia mencoba berdiri. Tak tega melihatnya, akhirnya kami tawarkan untuk bertukar posisi jika memang ia merasa tak nyaman dekat dengan jendela. Tawaran kami diterimanya dengan senang hati. Jadilah momen itu menjadi awal keakraban kami dengan ibu paruh baya tersebut yang lalu memperkenalkan namanya; Agnes Chan. Ia baru saja dari Australia menjenguk anaknya yang melanjutkan pendidikan tinggi di negeri Kanguru, lalu mampir ke Indonesia sebelum kembali ke Malaysia.
Ibu Agnes banyak bercerita dan bertanya. Walau dengan kemampuan bahasa Inggris yang pas-pasan dan masih sering 'belepotan' kalau ber'cas-cis-cus' namun kami tetap antusias meladeninya ("Sambil menyelam minum air," benak kami). Banyak hal yang membuat ibu Agnes begitu kagum dengan Indonesia, itu mengapa ia harus menyempatkan diri singgah saat pulang dari Australia.
Keindahan alam,keramahan penduduk hingga eksotisnya beberapa budaya nusantara melengkapi paparannya kepada kami. Saat tiba di pulau Bali, ia begitu terpesona dengan keindahan pulau Dewata, ditambah dengan keramahan penduduknya terhadap wisatawan yang berkunjung. Ia juga sangat takjub dengan batik di Jogja dan pekalongan, yang menurutnya dihasilkan oleh tangan-tangan yang terampil.
Tetapi, tentunya tak hanya hal-hal positif yang mengagumkan yang ditemui ibu Agnes selama berada di Indonesia. Terdapat beberapa 'situasi' yang kurang mengenakkan baginya, termasuk salah satunya mengapa ia begitu merasa kelelahan saat menajalani proses boarding ke dalam pesawat. Namun, karena kami hanya akan berbagi hal-hal yang positif saja, maka yang negatif-negatif tersebut kami 'skip'-maaf ya!. Semoga pada momen yang lain, hal itu dapat kami bagi untuk tujuan yang baik. Hope so!
Dari perbincangan kami yang cukup panjang,sejak 'take-off' dari cengkareng hingga jelang 'landing' di Kuala Lumpur, ibu Agnes berpesan satu hal kepada kami, pesan yang diulanginya hingga tiga kali. "Ingat, meskipun kulit orang lain lebih putih dari kamu, meskipun bahasa inggrisnya lebih kental dan lebih fasih dari kamu, tapi, belum tentu ia lebih baik," tegasnya. Sebuah nasehat yang sangat berharga bagi kami.
Petuah tersebut terus kami renungkan saat menunggu penerbangan menuju Chiang-Mai di bandara Kuala Lumpur. Ada gelitik lucu, jika mengingat seringkali kami--dan mungkin kita--merasa inferior jika berhadapan dengan orang-orang yang seperti ibu Agnes katakan. Ada kekaguman yang berlebihan jika yang berdiri atau duduk di hadapan kita adalah seorang yang tinggi, putih dan rambutnya pirang.
No comments:
Post a Comment