Sunday, 24 October 2021

Andai Kami TKI

 

Bandara Internasional Kuala Lumpur, 30 Juni 2011. Akhirnya tiba juga kami di negeri jiran. Malaysia, ya Malaysia. Negeri pertama yang membubuhkan stempel pada paspor kami. Pengalaman pertama pula kami menginjakkan kaki di negeri orang dengan syarat harus membawa paspor. It's cool. Keren juga rasanya.
Berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, melewati berbagai gerbang pemeriksaan yang menjemukan hingga pelayanan yang kurang simpatik dan ada kesan membodohi (mungkin persepsi kami saja waktu itu) dari beberapa crew maskapai penerbangan milik negeri tetangga itu.

"Akh.., belum juga tiba di luar negeri, kita sudah diperlakukan seperti ini. Bagaimana kalau sudah di luar ya?  Belum berangkat saja sudah mendapatkan perlakuan seperti ini. Oleh warga negara sendiri lagi." Gerutu Yogi, kawan seperjalanan ketika mendengar bahwa kami harus memiliki tiket pulang-pergi jika menggunakan paspor baru. Informasi yang menurutnya sangat membodohi. Ya, kesan itu kami tangkap setelah menunjukkan visa dari pemerintah Thailand sebagai penerima beasiswa dan akan menetap selama dua bulan di negeri Gajah putih itu. Tetapi lampu hijau belum kami dapatkan.

Mereka beralasan bahwa, visa tersebut adalah dari negeri Thailand, sedangkan tiket kami menuju Malaysia. Sehingga dari sudut pandang mereka, kami tidak boleh bertolak dari Indonesia menuju Malaysia. Menyaksikan perdebatan yang alot antara Yogi dan crew tersebut, tabiat 'mahasiswa Makassar' dalam diri kami bergemuruh, gelora darah pemakan kuda mulai memunculkan gelembung-
gelembung pemanasan. Kami ajak mereka berdebat, bersitegang sambil memperlihatkan seluruh dokumen yang mungkin mendukung. Dengan harapan dokumen tersebut dapat membantu.

Akhirnya, mereka melunak. Lalu membiarkan kami menuju gerbang imigrasi. Pegawai imigrasi malah sangat paham dengan situasi dan paspor kami. "Alhamdulillah...", ucap Yogi sambil menghela nafas lega. "Nyaris saja kita beli tiket yang belum kita butuhkan, lagian uangnya dari mana? Kita kan baru mau menuju Thailand, uangnya kan dari sana," sambung Yogi setelah kami berjalan menuju pesawat.

"Siapa juga yang mau lama di Malaysia?" Celoteh Yogi setelah akan berjalan menuju tempat duduknya di pesawat. Karena kebetulan kami dapat kursi yang berjauhan. Kami hanya menimpali dengan nada sedikit meledek. "Dikira ABK yang akan melaut di sana kali, padahal 'jenengan' sudah necis rapih plus rambut baru." Yogi hanya tersenyum kecut.

Dalam benak kami di paruh awal perjalanan mencoba menebak beberapa kemungkinan, mengapa kami lalu mendapat perlakuan seperti itu. Salah satunya, boleh jadi karena kami dianggap akan jadi TKI di negeri jiran. Jika dugaan itu benar, maka sungguh berat pengalaman yang akan dan telah dilalui para TKI kita. Bahkan boleh jadi jauh lebih buruk. Padahal mereka adalah pahlawan bagi keluarga dan devisa bangsa. Mudah-mudahan saja, itu hanya kekhawatiran yang di'trigger' oleh penat dan masygul dalam hati . 

Semoga!

Friday, 1 June 2018

Dua Tiga Lima Tujuh Sebelas, Tiga belas dan Tujuh belas



Melihat deretan angka berupa; 2, 3, 5, 7, 11, 13 dan 17 akan memberikan kesan berbeda bagi siapa yang melihatnya. Bagi orang awam seperti kami, kesan awal yakni satu angka genap (angka 2) diikuti oleh mayoritas  angka ganjil yang lebih kecil dari angka 20.  Berbeda tentu saja jika yang mengamati deretan angka tersebut adalah matematikawan atau orang yang akrab dengan aljabar dan teman-temannya, ada banyak hal istimewa yang mereka bisa saksikan dari deretan digit tersebut, salah satunya adalah yang dalam bahasa matematikanya dikenal dengan nama bilangan prima.

Lantas, apa istimewanya bilangan prima?
Tak banyak dari sedikit yang kami ketahui adalah bilangan-bilangan tersebut hanya habis jika dibagi dengan angka satu (1) dan dengan dirinya sendiri. selebihnya, kami tak punya kompetensi lagi untuk menyediakan jawabannya. :-)

Berhubung bulan ini adalah bulan istimewa (Ramadhan) dan tanggalnya juga tepat berada juga pada malam istimewa (17 Ramadhan), plus 1 juni yang disepakati sebagai hari pancasila, maka kami ingin berbagi beberapa hal istimewa yang jumlahnya berada di seputar deretan angka-angka tersebut (dua tiga lima tujuh sebelas, tiga belas dan tujuh belas). Baiklah kita mulai dari angka yang terkecil

Angka 2
Angka ini merupakan satu-satunya bilangan/angka genap yang begitu gagah berani berada dalam kerumunan bilangan-bilangan ganjil dalam deretan bilangan prima di atas. Berikutnya, hampir semua hal yang diciptakan di dunia ini tergambarkan dengan angka 2 alias berpasang-pasangan. Dari semua kata sifat (adjektif) yang kami ketahui keseluruhannya berpasangan. Tetapi, tentu saja yang paling istimewa dari angka 2 bagi kaum muslim yang sedang berjuang dengan amaliah ramadhannya adalah dua kalimat sakti yang menjadi pengakuan dan persaksian sebagai seorang muslim. Kalimat yang sangat familiar, yang sangat ringan mengucapkannya. Kalimat yang ingin dipertahankan meyakininya hingga embusan nafas terakhir, karena meskipun sangat ringan mengucapkannya, akan tetapi nilainya lebih berat dari dunia dan segala isinya. Yup! Itu dia, dua kalimat syahadat.

Angka 3
Dalam idiom bahasa Makassar dikenal istilah "Tepu Tallu" untuk menggambarkan suatu proses yang telah sempurna, atau utuh dalam rupa tiga dimensi. Pun, dalam kehidupan manusia, terdapat tiga ranah yang selalu melingkupi setiap detik detak nadi kehidupannya, yakni; ranah kasat mata, ranah abstrak atau malakut dan ranah ilahiyah. Haha.., tak satupun dari ketiganya kami berani mengeksplore-nya lebih dalam. Semoga di akhir ramadhan ini, ada uztad yang bisa memberikan pencerahan itu. Sebagai hadiah keberkahan bulan istimewa.
Tiga hal lainnya adalah tiga perintah yang jamak disampaikan di masjid-masjid oleh muballig sebelum tarawih yakni kewajiban menaati perintah Tuhan, menaati Nabi dan Pemerintah. Perintah ketiga lalu menjadi membingungkan bagi awam beberapa pekan ke belakang, karena banyak kalangan meyakini wilayah pertama dan kedua telah "diaduk-aduk" oleh yang ketiga (yang terhangat adalah tak semua muballig mendapat rekomendasi kementerian).

Angka 5
Silahkan pilih! Mau rukun Islam, atau kewajiban beribadah sehari semalam? Keduanya jumlahnya lima. Biar lebih netral, pilihan kita jatuhkan saja pada Pancasila. Dasar negara kita tercinta Republik Indonesia. Hanya saja, kalau Anda meminta kami menghapalkan butir-butir-nya, maka kami akan lempar handuk karena tak mampu melakukannya. Bagaimana dengan Anda? Hmmmm, semoga ada yang berbaik hati menuliskan 36 butir dari lima sila itu sebagai status FB, WA atau Twitter. Sehingga, jejak digitalnya bisa diendus.
 
Angka 7
Tujuh tangga nada, yang apabila terangkai dengan baik bisa menjadi sebuah irama indah nan merdu. Anda lebih paham untuk mengambil amsal dalam hal ini, mulai dari musik klasik hingga musiknya bang Haji. Terlepas dari apa pun genre musik kesukaan Anda , tujuh tangga nada selalu menjadi pijakannya. Dan, sebagai muslim yang taat, tentu Anda akan sepaham dengan kami. Bahwa untuk menciptakan harmoni kehidupan, gubahan tujuh tangga nada nada saja belumlah cukup, jika tujuh ayat pembuka kitab suci umat muslim belum disenandungkan dalam kepasrahan lima kali sehari semalam.

Angka 11
Malam-malam bulan ramadhan menjadi istimewa karena adanya ibadah sebelas-rakaat ini. Ke-sebelas-an kebanggan Makassar (PSM) menunda jamuannya terhadap Madura United karena menunggu suporternya menunaikan ibadah sebelas rakaatnya. Perkara apakah suporter tarawih dulu baru ke stadion Mattoanging, itu urusan masing-masing suporter. Tapi, kami yakin mereka semua adalah orang-orang yang sangat relijius.

Angka 13
Angka ini, banyak yang mempercayainya sebagai angka yang lekat dengan ketidakberuntungan. Tak sedikit yang berusaha menghindarinya karena sering diasosiasikan dengan sumber malapetaka, atau pembawa sial. Semoga dengan datangnya tamu istimewa kita (Ramadhan) mayoritas kita sebagai muslim mengakrabi angka ini. Menjadikannya kebutuhan karena merupakan sumber keberkahan.  Rukun tiga belas lima kali sehari semalam, tidak hanya sebagai suatu kewajiban, tetapi kebutuhan dan sekaligus janji yang harus ditunaikan seorang muslim kepada Rabb-nya setelah ia berkata: "Qaaluu Balaa, Syahidna...", sebagai bagian dari 'term and condition attepu tallu anne ri lino'.

Angka 17
Tujuh belas Ramadhan. Mmmmm. Teramat banyak keistimewaan yang bisa diasosiasikan dengan digit ini. Sebentar! Biar kami memilih dengan sederhana. Biar jatah para da'i di surau dan langgar tidak saya terabas. Hari proklamasi? Nuzulul quran? Atau tujuh belas rakaat? Mmmm. Semuanya sudah sangat familiar.  Tujuh belas tarawih berlalu. Semakin sedikit jatah tarawih yang tersisa. Terjelaskan dengan sangat baik oleh semakin berkurangnya jumlah jamaah yang tersisa di masjid, shaf semakin maju, di mana-mana masjid seolah membesar karena jauhnya jarak antara shaf terakhir makmum lelaki dengan shaf pertama makmum wanita. Musababnya? Dengan berbagai motif sebagaian telah beralih ke mall atau pusat perbelanjaan.   Mempersiapkan hari kemenangan, adalah alasan yang paling enteng untuk kondisi ini. Padahal, jika ada yang bertanya; Yakin akan bertemu lagi dengan ramadhan berikutnya? Lebih dari seribu keraguan yang menggelayut tak mampu menjadi jawaban. Wallahu a'lam.

Tamangapa, 1 Juni 2018/ bertepatan 17 Ramadhan 1439 H